Rio Ramabaskara Ingatkan: Kalau Yudikatif Rapuh, Keadilan Sulit Terwujud

JBN NEWS
Selasa, 02 September 2025 | 14:31 WIB Last Updated 2025-09-02T07:31:32Z

JBN NEWS | JAKARTA — Hampir setiap gelombang demonstrasi, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) selalu menjadi sasaran utama. Wakil rakyat kerap dituding hidup berfoya-foya, penuh skandal, dan gagal menyerap aspirasi publik. 

Namun, di balik sorotan besar ke legislatif, ada paradoks yang jarang dibahas, eksekutif yang mengelola lebih dari 90 persen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), serta yudikatif yang menjadi kunci penegakan keadilan, justru luput dari perhatian.

Sejumlah program besar pemerintahan dinilai bermasalah. Beberapa di antaranya bahkan seolah menghilang tanpa kabar:

1. Proyek Coretax bernilai lebih dari Rp1 triliun yang hingga kini tak jelas ujungnya.
2. Program Pagar Laut yang digadang-gadang strategis, justru senyap tanpa kelanjutan.
3. Klaim surplus beras, tetapi harga di lapangan tetap tinggi sehingga memberatkan masyarakat.
4. Rangkap jabatan Wakil Menteri di BUMN, padahal sudah jelas dilarang Mahkamah Konstitusi (MK), masih berlangsung tanpa koreksi.


Jika DPR sering menjadi target demonstrasi, berbeda dengan lembaga peradilan. Yudikatif cenderung minim sorotan publik, meski perannya sangat menentukan.

Pengamat hukum Rio Ramabaskara menegaskan, lemahnya yudikatif justru menjadi akar dari banyak masalah.

"Kalau yudikatif lemah, kasus korupsi bisa mandek. Publik sering tidak menyadari hal ini, karena fokus demo lebih sering diarahkan ke DPR," ujarnya.

Fenomena ini berimbas pada ringannya hukuman bagi koruptor, aktivis yang terjerat pasal karet, hingga putusan kontroversial dari MK.

Pengamat politik Ferdi Moses Ulemlem menyebut fenomena ini sebagai bentuk asimetri pengawasan.

"DPR lebih mudah diserang karena simbolik, sementara eksekutif terlalu teknis dan yudikatif sulit dipahami publik," jelasnya.

Dampaknya, menurut Ferdi, antara lain:

1. Korupsi semakin kebal (judicial impunity).

2. Alokasi anggaran negara tidak transparan.

3. Demonstrasi jalanan hanya menjadi rutinitas tanpa solusi nyata.

4. Koreksi Kebijakan Bukan Tanda Lemah

Tokoh politik Anas Urbaningrum menambahkan, semua pihak harus berani melakukan koreksi bila kebijakan dinilai tidak pro-rakyat.

"Kalau DPR salah, semua fraksi harus berani membatalkan bersama-sama. Eksekutif juga tidak boleh gengsi mengoreksi kebijakan yang keliru. Koreksi adalah tanda demokrasi sehat, bukan kelemahan," katanya.

Sejumlah solusi ditawarkan para pengamat agar energi publik tidak hanya berhenti di aksi jalanan:

1. Open budget system → transparansi anggaran agar masyarakat dapat memantau penggunaan APBN.

2. Reformasi peradilan → sidang digital terbuka dan sistem pelacakan perkara untuk mencegah manipulasi.

3. Literasi publik → agar masyarakat memahami bahwa persoalan tidak hanya berhenti di DPR, melainkan juga eksekutif dan yudikatif.

Maka dari pada itu, jika demonstrasi hanya berfokus pada DPR, publik ibarat menekan spion tanpa menyentuh rem maupun mesin. Padahal, kerusakan sistem politik Indonesia bukan hanya di legislatif, melainkan juga di eksekutif dan yudikatif.(sa/by)

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Rio Ramabaskara Ingatkan: Kalau Yudikatif Rapuh, Keadilan Sulit Terwujud

Trending Now

Iklan