Oleh: Ir. Kamrussamad, M.Sc., Ph.D. — Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Fiskal & Moneter
Keputusan Menteri Keuangan yang menempatkan Rp200 triliun dana negara di bank-bank Himbara menimbulkan tanda tanya besar: apakah ini benar-benar solusi likuiditas, atau sekadar menutup masalah daya beli rakyat yang melemah?
Langkah ini progresif, bak vitamin untuk perputaran ekonomi. Namun, seperti obat, dosis dan arah penggunaannya harus tepat.
Likuiditas Sebenarnya Masih Cukup
Pemerintah beralasan penempatan dana akan memperbesar likuiditas dan menambah penyaluran kredit. Tapi, data OJK menunjukkan likuiditas perbankan masih longgar. Dengan DPK Rp9.293,09 triliun dan kredit Rp8.149,78 triliun, LDR ada di angka 87,7%. Masih ada ruang ekspansi hingga 92%—yang artinya tambahan kredit Rp399,86 triliun bisa digelontorkan tanpa perlu suntikan baru.
Artinya, persoalannya bukan kurangnya dana, tapi keberanian bank menyalurkan ke sektor produktif. Saat ini bank lebih nyaman memarkir dana di SBN atau kas, bukan mengucurkannya ke dunia usaha.
Daya Beli: Jantung Persoalan
Yang paling krusial bukan “berapa besar dana disuntikkan”, melainkan “siapa yang menerima”. Jika dana Rp200 triliun itu mengalir ke UMKM, investasi, dan modal kerja produktif, dampaknya akan besar: ekonomi bergerak, lapangan kerja tumbuh, inflasi terkendali.
Namun bila banyak terserap ke konsumsi non-produktif, risiko inflasi meningkat. Bank Indonesia bisa mengetatkan suku bunga, dan ujungnya stimulus fiskal jadi tumpul.
UMKM Jangan Jadi Penonton
Fakta terbaru: kredit UMKM baru Rp1.496,93 triliun atau hanya 18,61% dari total kredit perbankan. Padahal UMKM adalah tulang punggung ekonomi. Maka, dana negara sebaiknya diarahkan dengan insentif khusus agar bank menyalurkan ke UMKM, bukan sekadar mempercantik neraca.
Risiko Dana Negara di Bank Komersial
SAL (Saldo Anggaran Lebih) 2024 yang awalnya Rp457–458 triliun adalah cadangan negara untuk defisit dan krisis. Saat dana ini dipindahkan ke bank komersial, muncul pertanyaan: bagaimana mekanisme penjaminannya?
LPS hanya menjamin simpanan sampai Rp2 miliar per nasabah, jauh dari skala triliunan. Maka perlu kejelasan: status hukum, tenor, bunga, hingga skema penarikan cepat. Transparansi ini penting agar publik tidak khawatir dana negara terjebak risiko perbankan.
Rekomendasi Arah Kebijakan
- Fokus UMKM — dana SAL harus diarahkan ke sektor produktif dengan insentif dan penugasan khusus.
- Dorong LDR optimal — bank punya ruang ekspansi kredit tanpa harus mengandalkan injeksi besar.
- Perjelas penjaminan — agar tak muncul risiko fiskal bila ada masalah di bank penerima.
- Transparansi detail — masyarakat berhak tahu tenor, bunga, dan flow penyaluran dana.
Kebijakan fiskal progresif memang diperlukan. Tetapi progresif saja tidak cukup. Yang dibutuhkan adalah efektivitas, keamanan, dan keberpihakan agar dana negara benar-benar menggerakkan ekonomi rakyat.
Jika Rp200 triliun itu tersalurkan dengan desain yang jernih, UMKM tumbuh, produksi naik, dan kesejahteraan rakyat meningkat. Namun bila salah arah, suntikan ini hanya jadi headline, tanpa menyentuh akar persoalan: daya beli rakyat yang melemah.(sa/by)


