JBN NEWS | JAKARTA — Seruan reformasi kepolisian bergema semakin keras. Praktisi hukum dan aktivis demokrasi, Fredi Moses Ulemlem, menyalakan alarm bahaya Polisi tidak boleh terus-menerus dijadikan alat kekuasaan, apalagi alat tawar-menawar para oligarki.
"Polisi bukan tentara bayaran elite! Polisi harus jadi pelindung rakyat, bukan penjaga kepentingan pemodal dan penguasa yang haus kuasa," tegas Fredi dalam pernyataannya, pada Sabtu (13/9) di Jakarta.
Menurutnya, Presiden Prabowo Subianto sedang diuji, apakah ia benar-benar berani berdiri di pihak rakyat, atau justru menjadi presiden yang tunduk pada warisan rezim lama.
Fredi mengkritik tajam mekanisme demokrasi yang sekarang berjalan.
"Rakyat tidak butuh perantara yang sudah busuk! DPR sudah kehilangan legitimasi, partai politik penuh transaksi. Yang harus didengar adalah suara rakyat di jalan, di pasar, di kampung. bukan suara ruang rapat elite yang hanya jual-beli kepentingan," kata dia.
Baginya, reformasi ditubuh Polri hanya bisa lahir jika Presiden membuka ruang aspirasi langsung.
"Dengar jeritan rakyat kecil, bukan bisikan oligarki. Kalau masih mengandalkan wakil rakyat yang sudah kehilangan wibawa, maka itu sama saja mengkhianati semangat reformasi 1998," ujar aktifis GmnI ini.
Fredi menambahkan, stigma publik semakin jelas, Polisi dipakai untuk balas dendam antar kelompok, bukan menegakkan keadilan. Kewenangan penyidik jadi alat pukul, hukum jadi senjata politik.
"Yang lahir bukan keadilan, melainkan kepuasan sesaat para elite rakus! Kalau ini dibiarkan, Polisi tidak lebih dari aparat represi. Dan jangan salah, kalau rakyat sudah kehilangan kepercayaan, mereka akan melawan!" ujarnya lantang.
Fredi menutup dengan ultimatum: “Presiden Prabowo tidak bisa lagi bermain aman. Sejarah akan mencatat apakah beliau presiden rakyat, atau presiden oligarki. Kalau telinga kekuasaan masih disumbat oleh suara elite busuk, maka rakyat akan mencari jalannya sendiri. Dan saat itu terjadi, gelombang perlawanan tak bisa lagi dibendung!." (sa/by)


