Fredi Moses: Pemberantasan korupsi mandek jika hanya berhenti pada transaksi amplop legislatif.
JBN NEWS ■ Publik kerap bertanya, mengapa kasus korupsi di legislatif lebih sering terbongkar dibandingkan eksekutif dan yudikatif. Padahal secara struktur kekuasaan, justru eksekutif dan yudikatif yang menguasai anggaran besar serta memiliki kewenangan hukum yang luas.
Data Indonesia Corruption Watch (ICW) tahun 2022 mencatat, legislatif menyumbang sekitar 24% dari total kasus korupsi di Indonesia. Angka ini menempatkan DPR dan DPRD di posisi atas dalam daftar pelaku korupsi yang terjerat hukum.
Menurut salah satu pengurus KNPI, Fredi Moses Ulemlem, kerap terungkapnya kasus korupsi legislatif tak lepas dari sifat transaksional modusnya.
"Polanya sederhana: ada pemberi, ada penerima, ada momentum. Itu membuat KPK lebih mudah melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT). Beda dengan eksekutif atau yudikatif yang biasanya bermain lewat kebijakan atau jaringan hukum yang lebih rumit dibuktikan," jelas Fredi kepada wartawan di Palangka Raya, Rabu (27/8).
Kasus-kasus legislatif yang meledak di publik umumnya terkait suap proyek daerah, titipan pasal dalam pembahasan UU, hingga barter kepentingan dengan swasta maupun pejabat daerah.
Meski legislatif paling sering tertangkap OTT, menurut Fredi, potensi kerugian negara terbesar justru bersumber dari eksekutif dan yudikatif.
Eksekutif menguasai anggaran negara, sementara yudikatif mengendalikan palu putusan hukum.
"Kalau diukur dari nilai kerugian, justru eksekutif dan yudikatif yang jauh lebih berbahaya. Sayangnya, praktiknya lebih terselubung yang artinya dibungkus lewat kebijakan, permainan APBN/APBD, atau rekayasa hukum," kata Fredi yang juga alumni GMNI ini.
Inilah sebabnya, OTT jarang menyentuh pejabat tinggi eksekutif atau hakim agung, meski secara struktural mereka menguasai "sumber daya" lebih besar daripada legislatif.
Laporan LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara) sebagaimana diatur dalam UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK dan UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, mewajibkan anggota legislatif untuk terbuka soal harta kekayaan.
Hal serupa juga ditegaskan oleh Komisi Informasi Publik (KIP) melalui UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, yang mendorong keterbukaan data pejabat publik.
Akibatnya, legislatif lebih mudah diakses datanya, sementara pejabat eksekutif dan aparat yudikatif sering kali bersembunyi di balik birokrasi.
"Keterbukaan legislatif membuat mereka lebih rentan terekspos. Ini bukan berarti legislatif paling korup, melainkan paling gampang ditangkap dan paling transparan diakses," tegas Fredi.
Fenomena ini menciptakan paradoks. Legislatif paling sering terseret kasus karena modusnya terang-benderang, sedangkan eksekutif dan yudikatif justru lebih berpotensi menimbulkan kerugian negara yang besar, tapi praktiknya sulit dibongkar.
Menurut kajian Pusat Kajian Antikorupsi UGM (2023), pola ini menandakan bahwa sistem hukum Indonesia masih berfokus pada kasus-kasus individual transaksional, bukan pada skema kebijakan korup yang terstruktur di level eksekutif dan yudikatif.
Fredi menegaskan, pemberantasan korupsi tidak boleh berhenti hanya pada OTT terhadap anggota DPR atau DPRD.
"Kalau kita mau serius, KPK dan masyarakat sipil harus berani menembus jantung kekuasaan eksekutif dan yudikatif. Kalau tidak, pemberantasan korupsi hanya jadi tontonan rutin, bukan upaya sistematis," tutup Ferdi sambil menunjukkan rangkaian Hukum dan Data Ilmiah Pendukung:
1. UU No. 28/1999 → Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN
2. UU No. 30/2002 jo. UU No. 19/2019 → Kewenangan KPK
3. UU No. 14/2008 → Keterbukaan Informasi Publik
4. Data ICW 2022 → Legislatif menyumbang ±24% kasus korupsi nasional
5. Kajian PUKAT UGM 2023 → Korupsi eksekutif & yudikatif lebih sistemik dan sulit dibongkar. (*)